Jumat, 10 Desember 2010

Membiasakan Membaca koran


  Tanggal 10 Februari yang lalu Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) mencanangkan gerakan baca koran. Seruan ini tentu memiliki korelasi yang positif dengan dunia pendidikan terutama sekolah. Bagaimana peranan guru dalam mendorong upaya gerakan tersebut di sekolah? sejauh mana pula kebiasaan para guru dalam membaca koran dan kemudian menularkannya kepada anak didik?
   
   Setiap sekolah pasti berlangganan satu atau dua buah koran. Paling tidak koran “Pikiran Rakyat” setiap hari hadir di ruang guru atau perpustakaan sekolah di Jawa Barat. Namun, apakah dengan hadirnya media bacaan tersebut budaya membaca koran kemudian tumbuh subur di sekolah? Belum tentu. Selama pemahaman dan penilaian guru akan kebutuhan untuk membaca koran belum tepat maka budaya membaca tidak akan pernah hadir di sekolah.
   
  Berdasarkan observasi sederhana penulis ternyata mayoritas guru lebih banyak menghabiskan waktunya, di luar jam mengajar, untuk ngobrol dan menggosip dibandingkan menambah wawasan dengan membaca koran. Mereka beranggapan bahwa berita yang disajikan koran tidak ada bedanya dengan berita yang disiarkan media televisi. Seringkali berita dari televisi lebih cepat dibandingkan koran. Tidak aneh bila kemudian di sekolah koran jarang disentuh, tergeletak begitu saja di atas meja di antara tumpukan buku.

Jumat, 19 November 2010

CERPEN REMAJA

 DI BAWAH POHON MAHONI




Senja
Menghindari senja, aku pun harus bertemu dengan senja itu. Menunggu kesetiaan dan kejujuran di bawah pohon mahoni yang berada di halaman sebuah bangunan TK yang sudah tua. Sebuah ayunan yang satu-satunya permainan anak yang tersisa dibuai angin kencang. Lalu, rintik hujan singgah di ayunan tersebut. Hujan semakin lebat, menyuruhku menepi ke bawah pohon mahoni. Bukan tentang hujan, sebenarnya. Tapi saat ini hujan menemaniku yang gelisah menunggu Darmawan. Hujan menjadi jurus ampuh untuk manakar kesetiaan dan kejujuran itu. Berdiri di bawah mahoni, aku bisa melihat kedatangannya dari ujung jalan. Walaupun rintik-rintik hujan dari sela-sela mahoni singgah di tubuhku.
Dari ujung jalan, Darmawan berlari melintasi hujan. Langkah cepatnya, adalah pertanyaan yang menyediakan jawaban buram untukku. Apakah itu langkah kesetiaan dan pengorbanan atau itu adalah langkah kebimbangan. Terasa darahku naik ke ubun-ubun, dadaku berdebar sangat dahsyat ketika Darmawan berada di hadapanku dengan nafas tersengal-sengal. Sebentar ia berdiri, menyaksikan bagaimana aku. Ia menggigil kedinginan bersamaan dengan air mataku yang jatuh.
“Padahal aku mengenal dirimu sebagai wanita yangkikir air mata.” Darmawan menatap tajam ke arahku
“Tapi kali ini berbeda, Mawan,” aku menyambung kata-katanya
Darmawan menarik tanganku, membawaku berlari menuju bangunan TK. Kami duduk menepi. Bersandar di bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tua itu.
“Mawan!” Sapaan akrabnya yang acap kali aku panggil. “Jangan pernah berpikir aku berkorban,” kataku dengan suara yang terisak. “Pastinya dirimu mengenal bagaimana aku. Pernah aku berkorban? Untuk satu hal yang kecilpun aku tidak mau, Mawan!” Sinar mata Darmawan tajam, walau ketika itu ia basah kuyup. Saat ini, sepi sedang berada di antara kami karena Mawan tak memberi sedikit pun tanggapan. Aku duduk sejajar dengan Mawan. Daun mahoni yang disinggahi butir-butir hujan yang semakin lebat menjadi tontonan kami berdua. Tak ada instrument selain lebatnya hujan. Desah nafas Darmawan yang selalu aku dengar apabila berada di sampingnya saat ini tak terdengar.
“Aku tak akan berkorban, Mawan!” Air mataku kembali jatuh. “Sekalipun dia sahabatku.” Aku menyambung kata-kataku sambil mengusir sepi. “Tapi, berpikirlah!” Ada pertempuran besar di hatiku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya. “Aku berharap dirimu menerima cintanya, jika ia lebih baik dariku. Tentang bagaimana aku, jangan hiraukan!” Aku bukan melepasmu Mawan, tapi mengukur kejujuran dan kesetiaanmu, teriakku dalam hati. Itulah kata terakhirku sebelum menyonsong hujan yang tak jua berkurang lebatnya. Tak ada lagi senja. Antara hujan dan gelap aku tinggalkan Mawan di bangunan TK tua itu. Sayup-sayup terdengar Mawan memanggilku, “Aya…!”
Pagi
Mereka bertemu di antara kabut. Bukan cerita tentang kabut, tapi kabut hadir dengan pesonanya yang memburamkan pandangan di pagi ini. Darmawan duduk di sudut bangunanTK. Ayunan yang kemarin ia lihat bersama Aya masih tertutup kabut. Sesekali Darmawan melihat ke ujuang jalan, menunggu seseorang yang akan melintasi kabut.
Kabut, tak menipiskan keinginan Reka berjalan menelusuri jalan setapak dan berhenti di sebuah bangunan TK yang sudah tua. Reka berharap Darmawan menunggunya di sana.
“Reka! Aku pikir dirimu tak akan datang.” Kata Darmawan menyambut kedatangan Reka. Reka membalasnya dengan senyum kegembiraan karena Darmawan telah menunggunya.
“Terimakasih telah menungguku!”  Disapu dinginnya kabut pagi, mereka duduk di sudut TK. “Setiap berjumpa dengan dirimu, Mawan, hari selalu terasa pagi. Dan pagi ini, sangat tak kuinginkan berlalu begitu saja. Aku harap, ini adalah pagi yang membawa berita baik” Ada senyum di bibir Reka, memperindah wajahnya yang lesung pipi.
“Boleh aku mengajukan satu pertanyaan, Rek?”
“Apa?”
“Tentang sahabatmu.” Darmawan menatap lekat ke arah Reka. “Apa  dirimu tak pernah tahu tentang. . .”
“Tentang kalian. Bukankah begitu, Mawan?” sekilas mereka saling bertatapan. Reka lalu melarikan pandangannya ke pohon mahoni yang diburamkan oleh kabut. “Pastinya aku tahu. Tapi cinta ini memaksaku untuk berkorban, Mawan!. Tak pernah aku inginkan kehadirannya, namun rasa ini datang tanpa aku sadari.”
“Tapi, Aya sahabatmu!”
“Sekalipun dia sahabatku!”
“Apa yang dirimu inginkan dariku, Rek? Masih banyak pria yang lebih baik dariku.”
“Itu benar. Tapi, bagiku dirimu lebih baik untukku dibanding mereka!”
“Jika Aya melepasku untukmu, apa yang dirimu lakukan agar ia juga bahagia seperti kebahagiaan yang dirimu rasakan?”
“Sekali ini aku mohon pengorbanan dari seorang Aya!”
Mereka duduk sejajar menghadap jalan setapak. Sesekali kendaraan mondar-mandir di jalan itu. “Mawan, apakah cintaku hanya akan sia-sia saja? Berharap pada seseorang yang tak mungkin akan membalasnya.”
Mawan menatap lekat mata Reka. Mereka bertemu pandang pada situasi klimaks dari cerita segitiga ini. Jawaban yang diharapkan Reka tak kunjung keluar dari mulut Darmawan. Matahari semakin merangkak ke tengah. Kabut semakin menipis. Mahoni yang tadinya tertutup kabut kini terlihat sangat jelas dengan daunnya yang hijau.
Matahari tepat di atas kepala
“Kekuranganmu membuat aku merasa nyaman. Kehadiranmu menjadi langkah semangat bagiku. Melepasmu adalah kehancuranku.” Kataku di tengah terik matahari. Aku dan Mawan bersandar di bawah mahoni. “Satu hal lagi, Mawan!”
“Apa?”
“Tak semudah itu aku memberitahunya!”
Mawan menatapku. Dapat aku baca pikirannya, seolah ingin tahu apa yang aku maksud.
“Karena dirimu belum memilih, Mawan!” Di balik dinding TK itu, aku tahu ada sepasang telinga yang me-nangkap suaraku. Mendengar pembicaraan kami.  “Aku atau Reka?”  aku lanjutkan kata-kataku, berharap sepasang telinga di balik diding itu juga mendengarnya.
“Apa dirimu masih menginginkan kehadiranku di sisimu, Aya? Bukan aku yang memilihnya. Tapi dirimu sendiri yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaan dan pilihan itu!”
“Terjawab sudah kebimbanganku, Mawan!” Reka, seseorang yang berada di balik dinding itu, aku tahu pengorbananmu yang sia-sia untuk Mawan. Tapi, dia memilih aku, Ma’af! Walapun dirimu sahabatku, kata hatiku saat itu. “Kesetiaanmu tak sanggup aku lepaskan. Itulah yang ingin aku katakan.” Ucap Aya.***
Kumal

Kamis, 11 November 2010

PUISI TENTANG SAHABAT


             PERTEMANAN SEJATI





            engkau selalu ada dikala aku membutuhkanmu
       engkau selalu setia ,saat aku dalam kebingungan
     kebingungan akan sesuatu yang hilang dalam hatiku
    dikala senja telah menyapa ,dikala ruang telah gunda
         kau selalu melengkapi!
    melengkapi serpihan hati yang sudah sirnah di hempas angin
 sahabatku...!!!!!!!!!!
   terima kasih atas kesetianmu
   terima kasih atas semu ilmu yang kamu berikan
    ilmu yang tidak mungkin aku dapatkan ditempat manapun
 sahabatku …!!!!!!!!!!!!
   kau memberikan semangat  yang baru dalam hidupku
  engkau memberiku arti, arti dari sebuah ikatan persahabatan
 bukan ikatan teman yang kosong belakang
  sahabatku
 aku berharap padamu,
    jangan pernah tinggalkan aku
   sendiri menjalani hidup dalam dunia yang panah ini
aku tdk ingin luka yang sudah lama menutup
  kembali menganga lagi .


temanku,
sahabat sejatiku!!!!!